Minggu, 03 April 2011
perkehe-teratogen
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan khas. Tepatnya, adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan/ digunakan selama masa organogenesis suatu hewan bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut berkerabat dengan dosis obat yang diberikan. Dengan demikian uji keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai landasan evaluasi batas aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh wanita hamil, utamanya berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.
Pada praktikum uji keteratogenikan ini, akan dilakukan pengujian pemberian zat kimia yang berupa alcohol 40% terhadap mencit (Mus musculus) dengan dosis yang berbeda-beda sehingga dapat diketahui apakah cacat bawaan pada diri janin berkerabat dengan pemberian dosis obat (alcohol 40%) yang diberikan. Selain itu, juga akan dilakukan pengamatan morfologi terhadap janin hasil uji keteratogenikan apakah mengalami cacat bawaan atau tidak. Pengamatan morfologi meliputi jumlah fetus seperindukan, mortalitas fetus, morfologi fetus, dan sebagainya.
1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam praktikum uji keteratogenikan ini adalah bagaimana menjelaskan manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat dan bagaimana melakukan uji keteratogenikan sesuatu obat.
1.3 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk menjelaskan manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat dan melakukan uji keteratogenikan sesuatu obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teratogenesis
Banyak kejadian yang dikehendaki untuk perkembangan dari organisme baru yang memiliki kesempatan besar dalam tindakan tersebut untuk menjadi suatu kesalahan. Pada kenyataannya, kira-kira satu dari tiga kali keguguran embrio pada manusia, sering tanpa diketahui oleh si Ibu bahwa dia sedang hamil. Perkembangan abnormal yang lain tidak mencelakakan embrio tetapi kelainan tersebut akan berakibat pada anak. Kelainanan perkembangan ada dua macam, yaitu: kelainan genetik dan kelainan sejak lahir. Kelainan genetik dikarenakan titik mutasi atau penyimpangan kromosom dan akibat dari tidak ada atau tidak tepatnya produk genetik selama meiosis atau tahap perkembangan. Down syndrome hanyalah salah satu dari banyak kelainan genetik. Kelainan sejak lahir tidak diwariskan melainkan akibat dari faktor eksternal, disebut teratogen, yang mengganggu proses perkembangan yang normal. Pada manusia, sebenarnya banyak zat yang dapat dipindahkan dari sang ibu kepada keturunannya melalui plasenta, yaitu teratogen potensial. Daftar dari teratogen yang diketahui dan dicurigai meliputi virus, termasuk tipe yang menyebabkan kasus penyakit campak Jerman, alkohol, dan beberapa obat, termasuk aspirin (Harris, 1992).
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu metamorfosis dan periode perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995).
Teratologi merupakan cabang embrio yang khusus mengenai pertumbuhan struktural yang abnormal luar biasa. Oleh pertumbuhan yang abnormal luar biasa itu lahir bayi atau janin yang cacat. Bayi yang cacat hebat disebut monster. Pada orang setiap 50 kelahiran hidup rata-rata 1 yang cacat. Sedangkan dari yang digugurkan perbandingan itu jauh lebih tinggi. Perbandingan bervariasi sesuai dengan jenis cacat. Contoh daftar berikut :
Jenis cacat | Frekuensi |
Lobang antara atrium | 1 : 5 |
Cryptorchidisme | 1 : 300 |
Sumbing | 1: 1000 |
Albino | 1 : 20.000 |
Hemophilia | 1 : 50.000 |
Tak ada anggota | 1 : 500.000 |
(Yatim, 1994).
Prosentase bagian tubuh yang sering terkena cacat adalah :
SSP (susunan saraf pusat) 60%
Saluran pencernaan 15%
Kardiovaskuler 10%
Otot dan kulit 10%
Alat lain 5%
Cacat yang sering juga ditemukan adalah sirenomelus (anggota seperti ikan duyung), phocomelia, jari buntung, ada ekor, cretinisme, dan gigantisme (Yatim, 1994).
2.2 Proses Kerja Teratogen
Cacat terjadi karena beberapa hal, diantaranya yang pentiung adalah :
1. gangguan pertumbuhan kuncup suatu alat (agenesis)
2. terhenti pertumbuhan di tengah jalan
3. kelebihan pertumbuhan
4. salah arah differensiasi
Agenesis atau terganggunya pertumbuhan suatu kuncup alat, menyebabkan adanya janin yang tak berginjal, tak ada anggota, tak ada pigment (albino), dan sebagainya. Kalau pertumbuhan berhenti di tengah jalan, terjadi cacat seperti sumbing atau dengan langit-langit celah. Kalau kelebihan pertumbuhan, contohnya gigantisme dan kembar. Sedangkan yang salah arah differensiasi menimbulkan tumor, teratoma, dan lain-lain (Yatim, 1994).
Secara natural cacat itu sulit dipastikan apa penyebabnya yang khusus. Mungkin sekali gabungan atau kerja sama berbagai faktor genetis dan lingkungan. Secara experimental dapat dibuat cacat dengan mempergunakan salah satu teratogen dan mengontrol faktor lainnya. Proses kerja teratogen adalah sebagai berikut :
1. mengubah kecepatan proliferasi sel
2. menghalangi sintesa enzim
3. mengubah permukaan sel sehingga agregasi tidak teratur
4. mengubah matrix yang mengganggu perpindahan sel-sel
5. merusak organizer atau daya kompetisi sel berespons
(Yatim, 1994).
2.3 Faktor Teratogen
Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan lingkungan. Faktor genetis terdiri dari :
1. Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif.
2. Aberasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh cacat karena ini adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma.
Faktor lingkungan terdiri atas :
1. Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi, terutama oleh virus.
2. Obat, berbagai macam obat yang diminum ibu waktu hamil dapat menimbulkan cacat pada janinnya.
3. Radiasi, ibu hamil yang diradiasi sinar-X , ada yang melahirkan bayi cacat pada otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat dengan lahir cacat bayi di daerah bersangkutan.
4. Defisiensi, ibu yang defisiensi vitamin atau hormon dapat menimbulkan cacat pada janin yang sedang dikandung.
Defisiensi Cacat
Vitamin A Mata
Vitamin B kompleks, C, D Tulang/rangka
Tiroxin Cretinisme
Somatrotopin Dwarfisme
5. Emosi, sumbing atau langit-langit celah, kalau terjadi pada minggu ke-7 sampai 10 kehamilan orang, dapat disebabkan emosi ibu.emosi itu mungkin lewat sistem hormon (Yatim, 1994).
2.4 Tahap Pradiferensiasi
Selama tahap ini, embrio tidak rentan terhadap zat teratogen. Zat ini dapat menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak menimbulkan efek yang nyata. Bahkan, bila terjadi efek yang agak berbahaya, sel yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio normal. Lamanya tahap resisten ini berkisar antara 5 – 9 hari, tergantung dari jenis spesiesnya (Lu, 1995).
2.5 Tahap Embrio.
Dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode inilah sebagian besar organogenesis terjadi. Akibatnya, embrio sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu, yaitu pada hari ke-10 sampai hari ke-14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke-14 pada manusia. Selain itu, tidak semua organ rentan pada saat yasng sama dalam suatu kehamilan (Lu, 1995).
2.6 Tahap Janin.
Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi. Dengan demikian, selama tahapan ini, teratogen tidak mungkin menyebabkan cacat morfologik, tetapi dapat mengakibatkan kelainan fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti gangguan SSP, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran (Lu, 1995).
2.7 Definisi Toksisitas
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan selama masa organogenesis pada hewan bunting. Toksisitas pada hakekatnya menjelaskan tentang kerusakan / cidera pada organisme yang diakibatkan oleh suatu materi, substansi, atau energi. Definisi lain menyebutkan bahwa toksisitas merupakan proses kerjanya racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut (Tarter, 1985).
Racun dapat berupa zat kimia, fisis, dan biologis. Toksin atau racun dapat diartikan sebagai:
1. zat yang dalam dosis kecil dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan hidup.
2. zat yang bila masuk ke dalam tubuh dalam dosis cukup, beraksi secara kimiawi dapat menimbulkan kematian/ kerusakan berat pada orang sehat.
3. zat yang bila memasuki tubuh dalam keadaan cukup, secara konsisten menyebabkan fungsi tubuh jadi tidak normal (Tarter, 1985).
2.8 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kualitatif dan non-kualitatif. Uji kualitatif biasanya dilakukan atas dasar gejala penyakit yang timbul. Hal ini akibat dari tidak spesifiknya gejala/ penyakit akibat suatu keracunan. Respons tubuh terhadap racun disebut tidak spesifik karena tidak ada/ belum didapat gejala yang khas (pathognomonik) bagi setiap keracunan, dengan beberapa pengecualian. Oleh karena itu, seringkali keracunan diklasifikasikan atas gejalanya yang timbul seperti:
Gejala | Penyebab/ racun |
Fibrosis | SiO2, Fe, asbest, Co, C, dll |
Granuloma | Be, bakteri, fungi, dll |
Alergi | Ni, Cr, TDI, berbagai zat organik |
Asfiksia | CO, H2S, CO2, SO2, NH3, CH4, dll |
Mutagenesis | Radiasi pengion, benzene, metal-Hg |
Karsinogenesis | Aminodifenil, asbest, benzidine,dll |
Teratogenesis | As, F, metil-Hg, TEL, benzena |
Keracunan sistemik | Pb, Cd, Hg, F, dll |
Demam | Mn, Zn, Co, Pb, dll |
(Tarter, 1985).
2.9 LD50
LD50 didefinisikan sebagai “dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diarapkan akan membunuh 50% hewan coba“. Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifikasinya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya dugunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1995).
Akan tetapi, dalam beberapa hal, khususnya bila toksisitas akutnya rendah, kadang kita tidak perlu menentukan LD50 secara tepat. Suatu angka perkiraan sudah dapat memberikan manfaat. Informasi bahwa dosis yang cukup besar saja menyebabkan hanya sedikit kematian, atau tidak menyebabkan kematian, mungkin cukup (EPA, 1988). Prinsip ini sebenarnya telah diterapkan. Misalnya, sejumlah pewarna makanan diberikan kepada beberapa tikus dengan dosis 2 g/kg. Karena tak ada tikus yang mati, dianggap bahwa semua toksistas akut yang berbahaya dapat disingkirkan dan LD50 tidak perlu ditentukan (Lu dan Lavallee, 1965) pandangan ini diterima oleh Joint FAO/ WHO Expert Committee on Food Additives (WHO, 1966) (Lu, 1995).
2.10 Etil Alkohol (Etanol)
Alkohol murni: bp: 78 C; tekanan uap: 44 mm Hg pada 20 C. Etil (butir) alkohol (C2H5OH) digunakan sebagai pelarut, antiseptik, perantara kimia, dan sebagai minuman. Untuk banyak kepentingan komersil, etil alkohol didenaturasi. Dosis fatal untuk dewasa rata-rata 300-400 ml dari alkohol murni (600-800 ml wiski percobaan) jika dikonsumsi kurang dari satu jam, beberapa waktu kemudian gejala serius akan muncul pada anak dengan 1 ml/kg dari alkohol yang dirusak mengandung 5% metil alkohol (Dreisbach, 1977).
Penemuan patologis dalam kerusakan akut dari etil alkohol termasuk didalamnya adalah edema otak dan hyperemia, dan edema gastrointestinal luas. Penemuan mayat dari pasien yang mati setelah mengkonsumsi begitu banyak alkohol meliputi perubahan degeneratif pada hati, ginjal, otak, atrophic gastritis, dan cirrhosis pada hati (Dreisbach, 1977).
Berdasarkan kandungan alkoholnya, beberapa jenis minuman dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- beer : 2-8 %
- Dry wine : 8-14 %
- Cocktail wine : 20-21 %
- Cordial : 25-40 %
- Spirits : 40-50 %
Seseorang yang mengkonsumsi minuman yang mengandung alcohol, zat tyersebut diserap oleh lambung, masuk ke aliran darah dan tersebar ke seluruh jaringan tubuh, yang mengakibatkan terganggunya semua system yang ada di dalam tubuh. Akibat dari penggunaan alkohaol dalam jangka panjang adalah kegelisahan, gemetar/tremor, halusinasi, kejang-kejang, dan bias merusak organ vital seperti otak dan hati. Bila ibu yang hamil mengkonsumsi minuman beralkohol, akan mengakibatkan bayi yang memiliki resiko lebih tinggi terhadap hambatan perkembangan mental dan ketidaknormalan lainnya, serta beresiko lebih besar menjadi pecandu alkohol saat dewasanya
(Anonim, 2010).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah spet/ jarum kanul/ gastric tube, silet dan seperangkat alat untuk pembedahan, botol kaca bermulut lebar, pipet, kertas label, dan kaca pembesar. Sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan adalah mencit (Mus musculus) albino umur antara 2 – 3 bulan, alkohol 70% dan 96%, KOH 1%, Alizarin Red S, formalin 5%, garam fisiologis, gliserin, akuades, dan asam pikrat atau tinta cina.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Pengawinan dan Penetapan Masa Bunting
Mencit yang akan digunakan diaklimatisasi terlebih dahulu kurang lebih selama 7 hari. Kemudian mencit betina diamati siklus estrusnya, jika telah berada dalam kondisi estrus (siap kawin), maka dicampur dengan mencit jantan. Perbandingannya 3 mencit betina : 1 ekor mencit jantan. Selanjutnya diamati tiap hari ada tidaknya vagina plug pada mencit betina, jika ada maka mencit betina segera dipisahkan dan saat tersebut ditetapkan sebagai hari ke nol kehamilan.
3.2.2 Pemberian Dosis
Mencit betina yang hamil dicekok dengan alkohol mulai hari ke hamilan ke – 6 sampai kehamilan ke – 12. Dosis yang digunakan adalah 0 (kontrol); 0,2; 0,4; 0,6; dan 0,8 ml. Pencekokan dilakukan dengan jarum kanul. Tiap perlakuan termasuk kontrol masing – masing dengan 3 ulangan. Setelah hari kehamilan ke – 18 mencit betina dimatikan dan embrio diambil untuk diamati.
3.2.3 Pengamatan Fetus
Pengamatan terhadap fetus meliputi jumlah fetus seperindukan, mortalitas fetus, berat fetus, panjang fetus, morfologi fetus, sistem rangka dan organ dalam fetus. Pemeriksaan sistem rangka (skeletal) dilakukan dengan pewarnaan Alizarin Red S. Untuk itu beberapa embrio masing-masing induk dipersiapkan untuk pembuatan preparat skeletal mengikuti teknik pewarnaan Alizarin Red S seperti berikut: embrio difiksasi dengan etanol absolut selama 2 hari, isi rongga perut dan rongga dada dikeluarkan, embrio dimaserasi dengan KOH 1 % selama 2 hari sampai dagingnya mengelupas dan nampak transparan (setiap hari larutan KOH diganti 2 kali), dimasukkan embrio transparan ke dalam Alizarin Red S 1 % dalam KOH 1 % selama 10 menit, dibilas dengan KOH 1 % sampai warna ungu pada selaput transparan hilang, dimasukkan embrio yang telah diwarnai itu berturut-turut ke dalam campuran KOH – gliserin (3:1, 1:1, 1:3) masing-masing selama 1 hari, dimasukkan ke dalam gliserin murni serta dismpan untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan kaca pembesar. Data yang dikumpulkan berupa: penulangan sternum, vertebrata dan rusuk, prosentase janin yang mempunyai penulangan pada karpal dan tarsal, prosentase kelainan rangka sumbu embrio. Sedangkan untuk melihat kelainan organ dalam dilakukan dengan bedah silet (Razor Blade Section).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pengendalian Tikus. http://www.depkes.go.id. diakses tanggal 21 November 2010 pukul 18.31.
Dreisbach, R. H. 1977. Handbook of Poisoning: Diagnosis & Treatment. Lange Medical Publications: Los Altos, California.
Harris, C. L. 1992. Zoology. Harper Collins Publishers Inc: New York.
Lu, F. C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. UI-PRESS: Jakarta.
Tarter,R.E. 1985. Alcohol and The Brain Chronic Effects. Plenum MediCal Book Co. New York and London.
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito: Bandung.
DISKUSI
1. Sediaan uji harus diberikan pada masa organogenesis hewan bunting karena pada saat organogenesis teratogen yang mengenai embrio pada stadium pra diferensiasi maka pengaruhnya semua atau sebagian besar sel embrio akan rusak dan berakhir dengan kematian embrio tapi jika kerusakan hanya sedikit embrio mempunyai kemampuan untuk mengadakan kompensasi terhadap sel yang rusak tadi dan emrio tak mengalami malformasi. Tapi jika sudah jadi fetus organ telah terbentuk maka kepekaan teratogen berkurang.
2. Hewan yang dipilih sebagai subyek uji harus memiliki daur estrus yang teratur, anak banyak, masih virgin, masa laktasi pendek karena dengan memiliki daur estrus yang teratur dapat kita tentukan dengan tepat saat mencit tersebut siap untuk kawin dengan melihat apusan vagina.
3. Masa bunting hewan uji harus diakhiri beberapa waktu sebelum masa kelahiran normal dengan cara bedah cesar agar kita tahu lebih jelas kecacatan pada embrio saat proses organogenesis.
4. Tujuan dari uji teratogen yaitu untuk mengetahui apakah sesautu obat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung hewan bunting dan apakah cacat tersebut berhubungan dengan dosis obat yang diberikan. Sasaran uji ini diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu jenis hewan bunting. Manfaat dari uji ini yaitu sebagai landasan evaluasi batas aman dan resiko penggunaan sesautu obat oleh wanita hamil utamanya berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.
SKEMA KERJA
1.
Pengawinan dan penetapan masa bunting
|
-diaklimatisasi terlebih dahulu kurang lebih 7 hari
-diamati siklus estrus jika berada pada kondisi estrus maka dicampur dengan mencit jantan dengan perbandingan 3 mencit betina : 1 mencit jantan
-diamati ada tidaknya vagina plug jika ada maka mencit betina segera dipisahkan dan ditetapkan
-sebagai hari ke nol kehamilan
|
2. Pemberian dosis
-mencit betina yang hamil dicekok dengan alkohol mulai kehamilan ke 6 sampai kehamilan ke 12
-digunakan dosis yang digunakan adalah 0 sebagai kontrol; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1 ml/ekor
-pencekokan digunakan jarum kanul
-tiap perlakuan termasuk kontrol masing-masing 3 kali ulangan
-setelah hari kehamilan ke 18 mencit betina dibedah dan diambil embrionya
|
3. Pengamatan fetus
|
-diamati jumlah fetus seperindukan, mortalitas fetis, berat fetus, panjang fetus, sistem rangka, organ dalam
-pemeriksaan sistem rangka dilakukan dengan pewarnaan Alizarin Reds
-embrio dipersiapkan untuk pembuatan preparat skeletal
-embrio difiksasi dengan etanol absolut selama 2 hari
-dikeluarkan isi rongga peru dan rongga dada
-dimaserasi embrio dengan KOH 1% selama 2 hari hingga dagingnya mengelupas dan nampak transparan
-dimasukkan embrio transparan dalam Alizarin Red s 1% dalam KOH selama 10 menit
-dibilas dengan KOH 1% hingga berwarna ungu
-dimasukkan embrio dalam campuran KOH gliserin selama 1 hari
-dimasukkan dalam gliserin murni dan disimpan untuk pemeriksaan menggunakan lup
-diamati data berupa penulangan sternum, vetebrata, rusuk, prosentase janin yang mempunyai penulangan pada karpal dan tarsal, prosentase kelainan rangka
-sumbu embrio
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar